Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah
upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan
cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya :
• tidak melaporkan sebagian penjualan
• memperbesar biaya dengan cara fiktif
• memungut pajak tetapi tidak menyetor
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:
• memperbesar biaya dengan cara fiktif
• memungut pajak tetapi tidak menyetor
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:
- Penegakkan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas
pelanggaran yang bersifat administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga
(sanksi administrasi umum), misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi
dikenakan denda Rp. 100.000,-
- Penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak
pidana perpajakan, sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus
dan sanksi pidana.
Berikut ringkasan beberapa pasal dalam KUP yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan diantaranya:
Pasal 38: Perbuatan alpa dalam pidana pajak, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.
Pasal 39 Ayat (1): Perbuatan sengaja :
·
Tidak
mendaftarkan diri;
·
Menyalahgunakan
NPWP/NPPKP;
·
Tidak
menyampaikan SPT;
·
Menyampaikan
SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap;
·
Menolak
untuk dilakukan pemeriksaan;
·
Memperlihatkan
pembukuan palsu/dipalsukan;
·
Tidak
menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan Pembukuan;
·
Tidak
menyimpan buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP;
·
Tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut,
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan
sanksi pidana Penjara minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali maksimal 4 kali jumlah
pajak yang terutang/kurang dibayar
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
·
Menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP.
·
Menyampaikan
SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
(Dalam rangka mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan
pajak), sanksi Pidana Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda
Minimal 2 Kali Maksimal 4 Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau
pengkreditan pajak.
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
·
Setiap
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
(Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya,
diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00.
·
Setiap orang
dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1),
pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00
·
Setiap orang
dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur
Jenderal Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks.
Rp800.000.000,00
·
Setiap orang
dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Pasal 43: Penyertaan Perbuatan Pidana,
- Ketentuan sebagaimana
pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib
pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan,
menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
- Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang
menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak:
·
saat
terutangnya pajak,
·
berakhirnya
Masa Pajak,
·
berakhirnya
Bagian Tahun Pajak, atau
·
berakhirnya
Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal 34: Rahasia Jabatan:
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
·
sebagai
saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
·
ditetapkan
Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau
instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan
negara.
Sanksi karena :
- ALPA: Pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun, dan denda setinggi-tingginya
Rp25.000.000,00
- SENGAJA : Pidana Penjara
selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya
Rp50.000.000,00
Pasal 36A: Pegawai Pajak yang:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
- memaksa seseorang untuk memberikan
sesuatu,
- untuk membayar atau
- menerima pembayaran, atau
- untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri,
diancam dengan pidana Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tipikor dan perubahannya.
CONTOH KASUS
: DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada
ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak
seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah
satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing
lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian
Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun
setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi
Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima
Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak
KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan
penggelapan pajak Arutmin.
Koordinator
Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan
utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah
data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada
pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu
juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut
diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan
kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008,
mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan dengan laporan
keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.
Kedua,
emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang
jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara
mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI
mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan
memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan
BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal
Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur
Jenderal ini, bisa diketahui berbagai hal yang mempengaruhi
penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak
tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan
Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin
penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat
dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok
tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur
lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini
dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu
ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan
Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan,
proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan
melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak yang tidak
atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta setelah
membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak yang
tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan
penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak
tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta
Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang
diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah
dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan
kemungkinan penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses
penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya
pada PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya,
sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah
satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri, nilainya
bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Komponen biaya
merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan
ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen
biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt)
Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika
dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga
kasus tersebut. Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus melaksanakan
proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun tersangka.
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus
dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima
Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat
pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan
Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih
dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan
tersebut, mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami
kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami
dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut dia,
pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan
tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak
dengan alasan sedang sakit. “Kami sudah panggil sekali, nanti tak
lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak dipenuhi akan kami
panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.
Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa
sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi
bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip
good corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi
negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus
dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya
dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang
hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan
hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate
governancediharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang
pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk
investor.
UPAYA
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
Pajak adalah
salah satu tiang yang sangat penting bagi perekonomian di sebuah Negara. Tanpa
pajak, Negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula, pemerintah
mustahil bisa menggaji para pegawai dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu,
pemerintah harus sangat serius dalam menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa
buktinya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya
pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.
Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan pajak
yang dilakukan oleh kelompok usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa
sulitnya bertindak tegas terhadap wajib pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung
terjadi adalah pemeerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap mereka. Tersebutlah
3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar pajak sebesar Rp
2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim Prima Coal
(KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp 376 Milyar,
KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300 Milyar.
Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu
terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak
tegas menyelesaikan kasus itu, sehingga kini muncul kembali dengan persoalan yang
lebih kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank
Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini dipimpin Aburizal
Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan group Bakrie dalam
kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar 2,1 Triliun itu
adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia) Anak
perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4
kali lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5
Triliun.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan
korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat.
Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib
pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera
dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara. Diharapkan pemerintah
segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang
tegas.
Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan
masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara
operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah dirinya. Dewasa ini,
dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated. Disatu satu pihak,
tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan
hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah usang. Dan
dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk.
Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan
sector pengetahuan ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah
distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Konsekuensi
logisnya, tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela
terjadinya praktek bisnis yang tidak fair. Seperti persaingan curang, monopoli,
ologopoli, kartel, pemberian fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di
tangan satu atau dua konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada
koneksi, suap menyuap dan lobi yang kental, birokrasi dan prosedur yang
berbelit-belit dan termasuk juga adanya dugaan skandal penggelapan pajak yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dibawah naungan Bakri Group. Hal ini
menandakan hukum bisnis tidak berperan, baik karena kevakuman, kebobrokan atau
ketidak jelasan aturan main, atau karena Law Enforcement nya
yang kurang sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan
berhadapan dengan sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran.
Upaya untuk melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan
tetap memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki
kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan
pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya
sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara
represif, Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
penyidikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai
dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam
rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian
peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar
modal.
Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan adalah
berupa “kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati). Ini
berarti sebagaiGeneral Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang
terlibat di pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila
padanya terdapat unsur kesalahan.
Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud kejahatan
dan pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab tersebut
berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek,
maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose),
atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber dari
suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan berwujud
ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam bentuk
kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik
profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan
bakri Group juga dapat dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari
kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam bidang keuangan, maka
akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam bidang hukum, konsultan
hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung jawab profesi penunjang
juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai tanggung jawab
“berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya, tanggung jawab
mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar.
Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu
sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar
tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung
jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab
yang berat, mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi
saham, dan dia pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping
itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab
hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum.
Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran,
maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung
jawabnya, sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang
berbunyi Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh
Pemerintah dan masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi
kegiatan masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana
untuk timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal
mampu mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar modal
khususnya penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan melalui
hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam aturan
di pasar modal.
Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan
skandal penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun
perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya
PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen
Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan
praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang praperadilan Prasetyo
tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk obyek praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera
menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu
2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan
kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia
hukum. Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif melakukan
penyelidikan dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut perusahaan publik,
yang seharusnya semua laporan keuangannya terbuka. Kalau benar ada
penggelapan pajak, berarti ada yang disembunyikan dari publik.
SOLUSI
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh
perusahaan Bakrie Group,perusahaan mengemukakan bahwa dalam
menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut,
efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi
pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan
lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari
globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi
global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan
demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti
dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup
memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan
pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa
kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk
mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun
menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh
persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha
untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum,
kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah
laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap
perubahan-perubahan dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya
sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi
memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan
dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua
kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya
yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.
Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi
efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah distribusi.
Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah
penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam
pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami
bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan
disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan
perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa
tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada
pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih (voters).
SUMBER :